Tanggal 1 Mei bukan sekadar hari libur. Bagi para buruh di Indonesia, ini adalah momen untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan, salah satunya dari sosok Marsinah yang kisahnya masih menggema hingga kini.

    Jon Mukidi   Opini   3 min read

Marsinah dan Hari Buruh: Ketika Perjuangan Tak Pernah Selesai

Tanggal 1 Mei bukan sekadar hari libur. Bagi para buruh di Indonesia, ini adalah momen untuk mengenang perjuangan dan pengorbanan, salah satunya dari sosok Marsinah yang kisahnya masih menggema hingga kini.

Dengarkan artikel

Tentang fitur ini

Marsinah tak pernah kembali. Tapi suaranya tetap menggema, setiap kali buruh turun ke jalan menuntut hak.

Setiap 1 Mei, jalanan kota besar di Indonesia dipenuhi ribuan buruh yang mengenakan seragam, membawa spanduk, dan menyuarakan tuntutan. Ada yang menuntut upah layak, jaminan kerja, hingga penghapusan sistem kerja kontrak. Tapi lebih dari sekadar aksi, Hari Buruh adalah ruang untuk mengenang perjuangan. Salah satunya: Marsinah.

Sosok Buruh Perempuan yang Jadi Simbol

Marsinah

Marsinah adalah seorang pekerja pabrik jam tangan di Sidoarjo, Jawa Timur. Tahun 1993, dia aktif dalam aksi buruh menuntut kenaikan upah sesuai keputusan gubernur. Ia bukan pemimpin serikat, bukan pula tokoh besar—tapi keberaniannya mewakili ribuan pekerja yang kerap bungkam.

Setelah ikut mengadvokasi pemecatan sepihak atas rekan-rekannya, Marsinah menghilang. Mayatnya ditemukan di hutan, dengan bekas penyiksaan brutal. Tragedi itu menjadi luka kolektif yang belum pulih hingga kini.

Meski sudah lebih dari 30 tahun berlalu, kasus Marsinah masih gelap. Tak ada pelaku utama yang benar-benar diadili. Tapi nama Marsinah terus hidup, menjadi ikon gerakan buruh yang menolak tunduk.

Dunia Buruh Kini: Sudah Lebih Baik?

Pasca reformasi, buruh Indonesia punya ruang lebih besar untuk bersuara. Serikat pekerja menjamur, unjuk rasa dilindungi hukum, dan regulasi ketenagakerjaan semakin kompleks. Tapi apakah kondisi kerja sudah sepenuhnya membaik?

Masih banyak buruh yang hidup di ambang upah minimum. Di sektor manufaktur dan ritel, pekerja kontrak jadi norma. Jaminan sosial masih belum menyeluruh, dan sistem outsourcing sering dipakai sebagai cara untuk menghindari kewajiban jangka panjang.

Buruh perempuan menghadapi tantangan ganda. Selain menghadapi diskriminasi upah dan pelecehan di tempat kerja, mereka juga memikul beban domestik. Dukungan terhadap cuti melahirkan, ruang laktasi, dan waktu kerja fleksibel masih minim di banyak perusahaan.

Omnibus Law: Pukulan Balik?

Omnibus Law

Pada 2020, pemerintah mengesahkan Omnibus Law atau UU Cipta Kerja. Dalihnya: menciptakan lapangan kerja, mempercepat investasi, dan menyederhanakan regulasi. Tapi di mata buruh, ini seperti jalan mundur.

Pesangon dipangkas. Fleksibilitas jam kerja diperluas. Status “mitra” yang digunakan dalam ekonomi digital memperlemah posisi tawar pekerja. Bahkan, beberapa pasal dinilai bisa menghambat penguatan serikat buruh.

Protes bermunculan. Aksi turun ke jalan tak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di daerah-daerah. Hari Buruh pun menjadi ajang menyuarakan penolakan terhadap regulasi yang dianggap tak berpihak pada pekerja.

Gerakan Baru: Buruh Digital dan Harapan Baru

Meski begitu, ada pula harapan yang tumbuh. Para kurir ojek online, pengemudi aplikasi, hingga pekerja freelance mulai berserikat. Mereka menuntut pengakuan, bukan hanya dianggap sebagai “mitra” yang bisa dilepas sewaktu-waktu.

Organisasi buruh kini tak hanya bicara pabrik dan serikat formal. Mereka hadir di Twitter, Instagram, hingga ruang diskusi daring. Solidaritas pun hadir lintas sektor dan lintas generasi.

Menyuarakan Marsinah di Era Baru

Marsinah mungkin hidup di era Orde Baru, tapi semangatnya tak terkurung zaman. Di setiap poster aksi, namanya tertulis. Di setiap suara tuntutan, semangatnya hidup. Ia bukan sekadar korban, tapi simbol bahwa perjuangan buruh adalah perjuangan untuk hidup manusiawi.

Hari Buruh bukan hanya seremoni tahunan. Ia adalah pengingat bahwa kemajuan ekonomi tak boleh dibayar dengan peluh yang tak dihargai. Bahwa kerja layak adalah hak, bukan kemewahan. Dan bahwa keadilan sosial tak lahir dari angka-angka pertumbuhan, tapi dari keberanian menuntut hak.

Karena selama masih ada yang dibayar murah untuk kerja kerasnya, perjuangan Marsinah belum selesai.

Lihat artikel lainnya

Artikel terkait

Lihat semua »
Mengenang Wearnes Education Center Malang

Mengenang Wearnes Education Center Malang

Sebuah refleksi dari alumni tahun 2004-2005 tentang kenangan belajar di Wearnes Education Center Malang yang kini telah tutup. Bagaimana institusi ini memberi fondasi awal, meski jalan karier berbelok ke arah yang berbeda.