Setiap tahun, tanggal 17 Mei, dunia memperingati World Telecommunication and Information Society Day (WTISD), hari untuk menyoroti peran penting teknologi informasi dalam membentuk masyarakat global.
Tahun 2025, tema WTISD bergeser pada isu mendesak yang kerap terpinggirkan: “Gender Equality in Digital Transformation.”
Sebuah seruan global untuk memastikan wanita dan anak-anak perempuan tak cuma jadi pengguna, tetapi juga pencipta, penggerak, dan pemimpin di era transformasi digital.
Kenapa Kesetaraan Gender di Teknologi Itu Penting?

Teknologi digital membentuk ekonomi, pendidikan, hingga layanan kesehatan. Tapi, apakah semua orang menikmati manfaatnya secara setara?
Menurut data dari International Telecommunication Union (ITU), perempuan masih tertinggal dalam akses internet, literasi digital, hingga representasi di industri teknologi.
Padahal, jika kesenjangan ini dibiarkan, transformasi digital justru bisa memperdalam ketimpangan sosial.
Akses Internet Masih Bias Gender
Secara global, perempuan 17% lebih kecil kemungkinannya untuk menggunakan internet dibanding laki-laki. Di negara berkembang, kesenjangan ini bahkan bisa mencapai 43%.
Di Indonesia, meski angka penetrasi digital terus meningkat, peran aktif perempuan sebagai inovator teknologi masih rendah.
Ini bukan hanya soal akses perangkat atau sinyal, tapi juga tentang kepercayaan diri, literasi digital, dan kultur sosial.
Apa yang Bisa Diubah?
WTISD 2025 ingin menggeser fokus. Dari sekadar memperluas jaringan, menuju memastikan siapa saja yang bisa tersambung dalam jaringan.
Literasi Digital untuk Semua

Program pelatihan digital yang inklusif sangat penting. Bukan hanya mengajarkan cara menggunakan aplikasi, tetapi juga mendorong perempuan untuk memimpin di bidang teknologi, menjadi developer, insinyur, bahkan CEO startup.
Literasi digital bukan cuma keterampilan teknis, tapi juga pemahaman kritis terhadap data, privasi, keamanan siber, dan ekosistem digital secara luas. Dalam konteks ini, pemberdayaan menjadi kunci.
Kurikulum yang Responsif untuk Gender
Kurikulum teknologi di sekolah dan perguruan tinggi perlu menghapus bias. Sains dan teknologi bukanlah domain untuk laki-laki saja.

Anak perempuan pun berhak merasa “pantas” berada di laboratorium, di ruang coding, atau sebuah studio desain UX.
Pendidikan yang inklusif tak hanya membuka akses, tapi juga akan mengubah pola pikir generasi berikutnya.
Representasi di Industri Digital
Hanya 28% tenaga kerja teknologi global yang perempuan. Di tingkat pimpinan, angkanya bahkan lebih kecil lagi.
Padahal, keberagaman gender di perusahaan teknologi terbukti meningkatkan inovasi dan performa bisnis. Perempuan membawa perspektif uniknya sendiri dalam mendesain produk dan bisa memberi solusi yang lebih inklusif.
Inilah tantangan yang ingin dijawab tema WTISD tahun ini: bagaimana membuka jalan agar perempuan bisa ikut membentuk masa depan digital?
Indonesia punya peluang, juga tanggung jawab besar. Dengan populasi digital yang masif, kita bisa menjadi pionir dalam transformasi digital yang adil untuk kedua gender.
Beberapa tindakan yang patut diapresiasi misalnya:
- Digital Talent Scholarship (Komdigi): Telah mulai membuka jalur khusus perempuan untuk pelatihan bidang data dan AI.
- Gerakan Nasional Literasi Digital: Semakin banyak pelibatan komunitas perempuan lokal.
- Startup Inklusif: Munculnya startup dengan fokus pada pemberdayaan perempuan melalui teknologi, seperti Arisan Mapan, Kitabisa, Sayurbox dan seterusnya.
Namun, daftar PR-nya masih panjang. Ketimpangan struktural yang sudah ada, tak akan bisa hilang hanya dengan satu-dua program pelatihan.
Peran Komunitas dan Lokalitas
Gerakan berbasis komunitas terbukti lebih efektif menjangkau perempuan di daerah. Perempuan desa yang mengelola UMKM berbasis digital, guru sekolah dasar yang belajar membuat konten edukatif di TikTok, hingga remaja perempuan yang belajar coding lewat Discord.
Dari Sabang sampai Merauke, cerita-cerita kecil ini menjadi bahan baku pembangunan dalam transformasi besar dunia digital.
Bukan Sekadar Akses, Tapi Kesempatan

WTISD 2025 mengingatkan bahwa kesetaraan digital bukan hanya soal punya ponsel atau kuota internet. Lebih dari itu, ini tentang kesempatan berpartisipasi dan berkontribusi.
Transformasi digital akan gagal jika hanya dikuasai satu gender. Justru kolaborasi dan keberagaman yang akan melahirkan solusi paling berdampak dari inovasi pertanian berbasis aplikasi, edukasi daring, hingga kecerdasan buatan untuk layanan publik.
Kesimpulan: Siapa yang Kita Ajak, Siapa yang Kita Abaikan?
Hari Telekomunikasi Dunia 2025 bukan hanya perayaan teknologi. Ini adalah momen refleksi: siapa yang kita abaikan ketika kita bicara tentang masa depan digital?
Kesetaraan gender dalam transformasi digital bukan isu pinggiran, tapi fondasi penting menuju masyarakat yang benar-benar inklusif dan berkelanjutan.
Menyoal masa depan bukan hanya tentang kecepatan internet atau adopsi AI, tapi juga tentang siapa yang diberi ruang untuk menciptakannya.
Karena di balik setiap transformasi digital yang berhasil, pasti butuh keberanian untuk meruntuhkan sekat lama kemudian membangun ulang ruang digital yang ramah bagi semua individu, tanpa kecuali.