21 Mei Hari Reformasi, bukan hari libur nasional, tak ada seremonial. Apa kabar reformasi 1998? Idealisme mulai kabur, konsistensi mulai luntur.

  Jon Mukidi   Opini   3 min read

21 Mei: Ketika Rakyat Akhirnya Berani Bilang, “Cukup, Mbah!”

21 Mei Hari Reformasi, bukan hari libur nasional, tak ada seremonial. Apa kabar reformasi 1998? Idealisme mulai kabur, konsistensi mulai luntur.

Dengarkan artikel

Tentang fitur ini

Dua puluh tujuh tahun silam, sebuah bab dalam buku sejarah Indonesia ditutup paksa. Soeharto, penguasa tiga dekade, bapak pembangunan, dan raja stabilitas versi Orde Baru, akhirnya terjengkang dari kursi goyangnya. Hari ini, tanggal 21 Mei 1998 silam, bukan sekadar momen politik, tapi juga sebagai penanda ketika rakyat akhirnya bersuara: “Cukup, jangan lanjut lagi Mbah.”

Jakarta saat itu bukan cuma panas karena matahari, tapi juga karena bara amarah rakyat. Harga sembako yang terbang tak terkendali, korupsi yang menjelma jadi budaya, dan mahasiswa memenuhi jalanan—bukan untuk cari konten viral, tapi menuntut perubahan dari pucuk daun hingga sampai akar-akarnya.

Dan kemudian, glodak. Lengser. Pak Harto pamit lewat pidato yang lebih dramatis dari ending sinetron prime time. Kalimatnya pendek, tapi efeknya panjang. Nyawa demokrasi pun ditiup ulang dari ubun-ubun, menggeliat dia.

Reformasi 1998: Dari Euforia Jadi Rasa Getir di Ujung Lidah

Kala itu, Reformasi datang membawa banyak janji manis: demokrasi yang sehat, pemilu yang jujur, kebebasan pers, pemerintahan yang bersih dari KKN. Harapan rakyat membumbung tinggi, wong cilik berbinar-binar matanya, takjub.

Sebagian janji memang sempat terwujud. Kita bisa memilih presiden langsung, ya. Menyuarakan keresahan di media sosial (meski kadang ujung-ujungnya dapat surat cinta dari aparat), ya! Dan pers tak lagi dibungkam pakai SIUPP, tentu!

Lembaga-lembaga baru yang kemudian lahir sebagai bentuk komitmen terhadap demokrasi: KPK yang tajam dan ditakuti (dulu, sekarang?), Mahkamah Konstitusi yang disegani (dulu), serta Ombudsman, yang hadir sebagai customer care-nya negara.

Menatap Reformasi di Tahun 2025: Pakai Tesmak Minus Berapa?

Mahasiswa Duduki Gedung DPR/MPR RI

Lompat ke masa kini, dan kita dihadapkan pada kenyataan yang bikin jidat mengkerut. Banyak nilai Reformasi yang justru dikikis satu per satu. KPK dilemahkan lewat regulasi, aktivis makin sering jadi tersangka, kemudian pasal-pasal multitafsir jadi lakban hitam paling elegan untuk membungkam.

Politik makin mirip restoran cepat saji: ada menu oligarki, topping dinasti, dan slogan populis penarik massa. Demokrasi masih hidup, dalam format formalitas lima tahunan. Sisanya? Warga konoha cuma diajak nonton drama kekuasaan sambil ngemut ibu jari. Setidaknya ada sebagian yang dapat amplop isi 2 lembar uang kertas warna biru, dengan wajah terharu. Hahaha…

Gen-Z: Melek Teknologi, Tapi Mesti Melek Sejarah Juga

Generasi pasca-Reformasi kini sudah dewasa. Ada yang jadi freelancer, konten kreator, sampai nyambi jadi buzzer politik. No problemo, itu pilihan bukan? Tapi satu hal yang penting:

apakah mereka tahu kenapa dulu mahasiswa nekat menghadang tentara di jalanan?

Reformasi 1998 itu bukan akhir cerita, tapi titik awal perjuangan panjang. Tentang membangun negara yang adil, bersuara tanpa rasa takut, dan menolak disetir elite yang doyan melintir pasal. Kalau anak muda hari ini lupa sejarah, jangan tunjuk hidung siapa-siapa kalau sejarah buruk terulang lagi. Tunjuklah hidungmu sendiri.

Penutup: Demokrasi Harus Dijaga, Bukan Cuma Dirayakan.

Tanggal 21 Mei bukan cuma momen nostalgia atau sekadar pengingat bahwa Orde Baru pernah ada. Ia adalah peringatan bahwa demokrasi bisa saja mati, bukan karena kudeta, tapi karena rakyatnya terlalu nyaman dalam diam.

Anggap demokrasi seperti sebuah bonsai: butuh dipangkas, disiram, dan diawasi. Kalau enggak, bisa tumbuh liar atau malah mati pelan-pelan. Dan kalau rakyat sudah “bodoh amat”, pemburu kekuasaan bakal makin bebas tak terikat.

Jadi, meski 21 Mei tidak menjadi hari libur, tak ada spanduk dibentangkan, tanpa adanya peringatan protokoler, selamat Hari Reformasi. Teruslah jadi warga negara yang cerewet. Karena di negeri ini, diam terlalu lama bisa berarti ikut menyuburkan ketidakadilan.

“Reformasi belum selesai.” — dan mungkin nggak akan selesai kalau kita sendiri udah capek duluan.

Demo lee...

Note: Sedang mencoba menulis ala-ala kontributor mojok.co, gak suka? Silahkan kalau mau demo!

Lihat artikel lainnya

Artikel terkait

Lihat semua »
Mengenang Wearnes Education Center Malang

Mengenang Wearnes Education Center Malang

Sebuah refleksi dari alumni tahun 2004-2005 tentang kenangan belajar di Wearnes Education Center Malang yang kini telah tutup. Bagaimana institusi ini memberi fondasi awal, meski jalan karier berbelok ke arah yang berbeda.